Sepasang Mata Dibalik Jendela

Kunamakan dia 'Hangat'. Aku tidak menyadarinya. Tapi baru saja sore ini kuputuskan dia adalah milikku.

🍀🍀🍀

Sore hari, seharusnya aku sudah dirumah. Tapi lihat, sibuknya urusan pekerjaan yang tiada henti membuatku harus menahan kantuk ini lebih lama. Mataku sudah lelah berjam-jam duduk di depan layar biru, terang lampu di ruanganku semakin membuat panas sepasang mata sayu ini. Ah.. kapan selesainya? Ujarku dalam hati.


Kualihkan pandanganku sebentar dari layar yang menunjukkan kolom-kolom dan ribuan angka. Melepas kacamata lalu kupenjamkan mataku. Lelah sekali... Kopi saja tidak sanggup membangunkan ragaku yang sudah mendambakan kasur empuk. Aku meruntuki diri sendiri mengapa harus mau menjadi antek para petinggi hanya demi rupiah. Ini memang pekerjaanku, tetapi lembur bukanlah harapan setiap pekerja kantoran yang bahkan kompensasi lemburnya tidak dihitung. Sedih sekali rasanya membayangkan aku harus terus-menerus bekerja seperti ini setiap hari selama dua belas jam. Gajiku tidak kecil, sangat lebih dari cukup untuk membiayai adik kecilku sekolah swasta bergengsi di kota besar sana dan mencukupi kebutuhanku sendiri. Tetapi, membayangkan aku hidup seorang diri selamanya tanpa pendamping dengan gaji besar bukanlah tujuanku. Hey.. mengapa aku tiba-tiba berpikir tentang pendamping? Bekerja terlalu keras membuatku tidak waras. Ngomong-ngomong kewarasan, mengapa dia tidak berkencan saja? Mendapatkan pasangan katanya bisa membantu kewarasan seseorang. Astaga, aku memikirkan nasibnya, seolah aku sendiri tidak bernasib sama. 


Sambil aku beristirahat dan menertawakan diriku sendiri, aku tak menyadari ada sepasang mata yang sedari tadi memelototi setiap gerakanku dari balik jendela kantorku. Malah mungkin sudah dari pagi tadi dia mencuri pandang menengok setiap ada kesempatan. Ia tersenyum setiap kali aku tertawa, ia juga bereaksi kesal setiap aku menelepon klien dengan nada tinggi —klien yang tidak pernah mau bekerjasama dengan baik memang mengesalkan.


Dia mengetuk daun pintu, tok tok tok...

Oh itu pintuku.

Aku buka mataku, "Masuk." Jawabku singkat. Orang ini...


"Bapak mau saya pesankan janji temu tempat spa atau mungkin klinik biasa bapak melakukan treatment di akhir minggu ini?" Ujarnya sopan sembari menutup pintu kembali. Tangannya terlipat didepan rok putih, tubuhnya tegak tinggi semampai, rambutnya terikat rapi, sepasang sepatu hak berwarna coklat sangat serasi dengan kemeja coklatnya.


Senyumnya! Senyumnya itu. Bagaimana dia bisa masih terlihat fresh padahal sudah sore? Dan apa itu, dandanannya pun masih sempurna seperti tadi pagi saat aku datang ke kantor! Aku pikir dia adalah elf yang tidak pernah merasa lelah sekalipun. Dia sangat cantik setiap saat.


Aku menatapnya datar. Tanpa jawaban. Tanpa senyum. Menghela napas panjang dengan berat. Dia benar. Aku suka memanjakan diriku selepas kerja selama satu bulan penuh tanpa libur bahkan di hari Minggu sekalipun, akhir bulan adalah waktuku untuk bermalas-malasan, datang ke spa adalah ide yang bagus untuk menghilangkan sakit di punggungku.


"Lagipula ini sudah mendekati akhir tahun. Waktu cuti bapak sebentar lagi. Laporan dan berkas lainnya sudah saya selesaikan lebih cepat. Bapak bisa meninggalkan kantor minggu ini sampai waktu cuti bapak selesai, mungkin saya pesankan tiket pesawat juga untuk liburan bapak?" Katanya cepat. Senyumnya tidak pudar.


Hangat. Ada kesan hangat dalam setiap ucapannya. Matanya juga hangat memandangku. Entah kenapa aku merasa dia mampu mengerti setiap keadaan psikisku. Apakah dia peramal? Atau jangan-jangan dia bisa membaca pikiranku? Padahal aku tidak pernah menyuruhnya untuk melakukan ini-itu untuk kesehatanku. Kamu memperhatikanku sedemikian rupa, bagaimana dengan dirimu sendiri, hey, gadis?


"Ya." Datar. Tanpa ekspresi. Mataku bertemu dengan matanya.


"Ya?" Kepalanya miring sedikit, matanya berkedip cepat. Dia tidak paham maksudku. Tapi dia terlihat lucu saat melakukan itu.


Aku berpikir sebentar. Mungkin ke Maldives bisa mengembalikan semangat kerjaku. Tapi kalau sendirian, apa bedanya dengan rumahku? Sepi.


"Tidak." Aku memalingkan wajah ke layar komputer. Aishh.. kenapa aku melihat layar ini lagi? Runtuk batinku.


Dia menghela napas dan menelan ludah. Dia mengangguk, melangkahkan kaki berbalik menuju pintu. Aku tau perasaannya, saat ini dia kecewa. Tidak! Ini saatnya. Jangan kecewakan dia lagi. Diamku sudah terlalu lama.


"Pesankan aku dua tiket pesawat ke Maldives. Tiga hari dua malam. Berangkat pukul 9. Aku mau tiket itu sudah ada di mejaku besok." Ujarku cepat sebelum dia berkata lagi.


"Ya. Aku besok ada di kantor. Aku mau tiket itu sudah tersedia di mejaku besok, hari Minggu." Kataku datar dan tegas. "Oh dan siapkan pakaianmu juga."


"Pesankan juga cottage dengan dua kamar. Aku mau yang berada di lepas pantainya. Dan aku mau kamu ikut denganku." Kutatap matanya dalam. Tidak ada kesan memerintah dalam nada ucapanku, lebih terasa...manja? Aku ingin dia tau sekarang.


Dia terdiam. Matanya tidak berkedip menatapku lekat. Aku tau pasti saat ini dia tidak hanya terkejut. Karena tidak biasanya aku memesan dua tiket untuk berpergian. Aku biasa melakukan perjalanan kemana pun sendirian. Baik itu perjalanan bisnis, treatment, healing, atau perjalanan yang hanya aku saja yang tau untuk apa. Pasti sendiri.


Namun, lihatlah. Bosmu ini sedang ingin dipesankan tiket dua pesawat. Dan menyuruhmu mengemas pakaian pula. Jika aku jadi dia, aku pasti sudah mengatai diriku mesum. Tapi tidak, hari ini ku putuskan untuk tidak lagi berdiam diri. Biar ku perjelas apa yang menggangguku setiap hari. Perasaan ini.

Aku tau apa yang dia lakukan setiap detiknya. Delapan tahun sepasang mata itu tak pernah berpaling dariku. Aku bukan terganggu dengan itu —sepasang mata indahnya, memelototi apapun gerakanku. Aku tidak masalah dengan itu. Aku malah ingin memperjelasnya. Sepasang mata di balik jendela, yang ingin kulihat lebih dekat, yang tidak ingin mata itu memperhatikan orang lain, yang menularkan perasaan hangat setiap menatapku. Aku ingin memperjelasnya.


"Kamu tidak perlu lagi mengintip dari balik jendela. Kamu tidak perlu berbisik kepada temanmu setiap kamu merasa malu membicarakan aku. Aku tau itu semua."


"Aku lelah dengan kesendirian. Setiap sore aku selalu pulang bukan untuk menghilangkan penatku. Justru hangat yang kudapat setiap pagi menghilang bersama langkah kakiku di sore hari. Kupikir kenapa? Bertahun-tahun kamu dan aku saling diam. Saling menganggumi satu sama lain tanpa mengatakan apapun. Mengapa tidak kita bersatu saja?


Kuharap ini bisa memperjelas apa yang buram sebelumnya. Kuharap aku tidak salah mengartikan sepasang mata itu.. yang selalu memperhatikanku.. dari balik jendela."


Hening. Seluruh ruangan seolah berhenti melakukan pekerjaannya. Denting jam tidak lagi terdengar. Hembusan AC yang biasanya tidak terasa, kini menusuk tulangku. Bulu kudukku berdiri. Aihhh... Kenapa begitu tegang sekali rasanya? Apakah kata-kataku salah? Apakah ini terlalu terburu-buru baginya? Aissshhhh.. apasih yang kupikirkan? Aku terus meruntuki diri sendiri sambil berdoa dalam hati semoga benar apa yang kukatakan ini. Aku mulai khawatir kenapa dia tidak menjawab.


"Baik, pak. Atau... Boleh kupanggil pacarku sekarang?" ujarnya setelah terdiam lama. Dia tersenyum. Manis. Hangat. Meluluh lantakkan seluruh pertahanan dinginku selama ini. Aku tau aku tidak salah. Kita saling mendambakan walau tidak pernah membicarakannya.


"Kamu istriku, dalam waktu dekat." senyumku. Aku tidak akan sendirian lagi. Adikku akan punya kakak ipar cantik dan hangat. Dia berbakat dalam segala hal, dia sempurna. Dia merawatku selama delapan tahun ini. Aku tidak salah meyakini bahwa dia akan jadi milikku saat pertemuan pertama, waktu itu. Aku senang kini dia benar-benar milikku. 'Sang hangat' bagai mentari pagi hari, aku menyambutnya dengan suka cita seolah sudah direncanakan sebelumnya.

🍀🍀🍀🍀🍀

Karyaku, ditulis dengan cepat selama 20 menit. Entah kenapa kepikiran judul ini beserta ceritanya. Kesannya memang terburu-buru, tapi dibalik itu ada banyak cerita-cerita sebelum hal ini terjadi, pastinya. Kalau aku tidak malas, aku pingin jadi author aktif lagi. Hoho~🤧

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hardly...

KERTAS LUSUH