KANKER HATI (bab 2)

Semuanya terasa begitu gelap. Dingin. Padahal ini sudah pukul 7 pagi. Matahari sudah menampakkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan. Mengapa aku masih merasa dingin? Dan mengapa aku merasakan ketakutan yang amat sangat dari dalam tubuhku? Setelah 10 tahun aku hidup menderita, mengapa aku begitu sangat ingin pelukan dari orang lain? Mengapa baru sekarang?





"Pagi, Ayah!" sapaku riang.
"Hey! Pagi juga, Bidadari kecilku! Apa monster kecil menemanimu tidur tadi malam? Kau tampak menyenangkan pagi ini, sayang!" jawab seorang lelaki yang sepertinya baru menginjak umur 30 tahunan.

"Tentu saja aku senang, Ayah! Lihat!! Gigiku sudah muncul dengan sempurna, Yah! Warnanya seputih salju. Persis seperti yang Ayah ceritakan kemarin," kataku sambil menunjukkan dua gigi kelinci mungil pada lelaki yang kupanggil Ayah tersebut.

"Hahaha.. Kau tahu? Gigi itu akan terus tumbuh seiring bertambahnya umurmu, Nak! Kalau kau tidak merawatnya dengan baik, Si Putri Salju pasti tidak akan mau memberikan gigi seputih itu, sayang! Haha," sahutnya sambil mengelus rambutku. Aku hanya tertawa dan memeluk menanggapi gurauannya. Bersamaan dengan kejadian itu, masuklah seorang wanita yang cantik ke ruangan keluarga. Ia memakai sweater putih dan celana panjang hitam, rambutnya digerai melewati bahu, matanya yang sama hitamnya dengan rambutnya menambah pesona aura lembut dari dalamnya. Ia memakai kalung permata berwarna kehijauan yang sangat indah. Aku memanggilnya dengan sebutan: Ibu. Ya. Dia Ibuku! Ibuku yang melahirkanku ke dunia yang kejam ini.

Saat ini umurku 3 tahun. Gigiku baru dua. Dan aku belum sekolah. Aku belum mengerti apa artinya kasih sayang. Yang aku tahu: Ayah dan Ibuku menyayangiku. Mereka tidak pernah menyakitiku, dan aku juga tak ingin menyakiti mereka. Itu janjiku.


"Sayang, nanti ikut Ibu pergi, yuk! Ibu ingin memberimu suatu kejutan kecil. Besok 'kan ulang tahunmu yang ke-3 tahun, sayang," Aku menoleh pada ibuku. Ibuku tersenyum membelai rambut hitamku. Disini yang aku ketahui, aku anak satu-satunya dari Ayah dan Ibuku. Karena aku tak pernah melihat orang lain dirumah ini. Atau mungkin seseorang yang kukenal sebagai kakak atau adikku. Aku anak satu-satunya mereka. Aku sangat disayang mereka. Aku dicintai mereka. Itu yang aku tahu..


"Hm.. Lebih baik Ayah tidak ikut! Nanti kalau Ayah ikut, kejutannya jadi tidak seru," Aku menoleh lagi pada Ayahku dan memasang wajah cemberut. Aku sangat dekat dengan Ayahku. Ketika aku bersedih, Ayahlah yang datang menghibur. Ketika aku senang, aku pun datang kepada Ayah untuk membagikan rasa senangku. Bukan. Bukan karena ibuku tidak peduli denganku. Bukan berarti ibuku orang yang jahat atau semacamnya. Tapi.. Entahlah, sepertinya ada magnet antara aku dan Ayahku. 


"Aku tidak mau kalau tidak ada Ayah!" jeritku tertahan. Aku menunduk menatap lantai keramik berwarna coklat bermotif kayu. Tanganku bersedekap ala anak kecil yang terlihat seperti meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri. Bibirku manyun. Tapi arti sesungguhnya dihatiku pun tak suka dengan kabar tersebut.


"Ayolah, Bidadari kecilku! Jangan pasang wajah jelek seperti itu! Nanti Putri Salju tidak mau datang menemuimu lagi, lho!" ujar Ayah sambil mencubit kedua pipiku yang gembul.


Tiba-tiba mimik wajah ibuku berubah seketika. Air mukanya berubah menjadi menyeramkan. Seperti siap untuk menerkam mangsa. Saat itu aku tak tahu. Aku sedang sibuk berbicang dengan Ayahku. Dan ketika aku berbalik untuk menanyakan pendapat, seketika itu pula aku menyadarinya. Wajah ibu memang sudah tak menyeramkan lagi, tapi disitu! Disitu aku melihat setitik cahaya suram milik ibuku! Disitu. Di mata hitamnya! Aku tahu dari matanya terlihat ibuku sedang menyembunyikan sesuatu yang sangat rahasia. Tapi entahlah.. Apa arti tatapannya itu. Sedih? Marah? Atau... malu? Aku tak mengerti.


Umurku tiga tahun. Dan aku belum mengerti apa itu rahasia. Tapi hari itu juga, aku menyadari hal yang seharusnya belum ku pahami. Ibuku menyimpan sesuatu. Dan aku merasakan, bahwa diantara seribu rahasia ibuku, yang paling besar sepertinya adalah rahasia tentangku.


Oh Tuhan! Betapa aku sangat ingin lari jauh dari mata ibuku. Aku sangat takut. Dan dihari itu pula.. Segalanya mulai terasa berubah. Apapun. Semuanya. Kehidupanku. Kebahagiaanku. Ayah-Ibuku...
Semuanya berubah.


Umurku tiga tahun. Dan aku sangat ketakutan..


~bersambung~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hardly...

KERTAS LUSUH

Time to Move On